Di dunia teknologi yang semakin kompleks, pengembangan software custom sering kali melibatkan kerjasama dengan konsultan IT atau vendor software house. Namun, tidak semua kolaborasi berakhir sukses. Beberapa proyek bahkan mengalami kegagalan besar karena vendor yang tidak kompeten atau gagal memahami kebutuhan spesifik klien mereka. Berikut adalah beberapa contoh nyata yang menggambarkan bagaimana kegagalan tersebut terjadi.
1. Sainsbury dan Accenture: Mimpi Buruk di Gudang Otomatis
Pada tahun 2000-an, Sainsbury, salah satu supermarket terbesar di Inggris, bermitra dengan Accenture untuk mengembangkan sistem manajemen pergudangan otomatis. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi biaya.
Sejak awal, proyek ini diwarnai oleh ketidakcocokan antara solusi teknologi yang ditawarkan oleh Accenture dan kebutuhan bisnis Sainsbury. Kurangnya pemahaman mendalam dari vendor tentang proses operasional di Sainsbury menyebabkan berbagai masalah teknis dan operasional.
Setelah menghabiskan £290 juta, proyek ini dihentikan. Sainsbury terpaksa kembali ke sistem manual yang menyebabkan kerugian finansial yang besar dan gangguan operasional yang signifikan. Ini menjadi pelajaran mahal tentang pentingnya memilih vendor yang tepat dan memastikan mereka memahami kebutuhan bisnis dengan baik.
2. Proyek e-Borders Inggris: Keamanan Perbatasan yang Tertunda
Pada tahun 2003, Pemerintah Inggris meluncurkan proyek e-Borders untuk meningkatkan keamanan perbatasan melalui teknologi informasi. Proyek ini diberikan kepada konsorsium yang dipimpin oleh Raytheon.
Raytheon gagal memenuhi tenggat waktu dan spesifikasi proyek. Terdapat masalah integrasi sistem yang serius dan kurangnya pemahaman vendor tentang persyaratan hukum dan operasional. Komunikasi yang buruk antara pemerintah dan vendor memperparah situasi.
Pada tahun 2010, kontrak dengan Raytheon dihentikan. Setelah menghabiskan lebih dari £830 juta, proyek ini dianggap gagal tanpa menghasilkan sistem yang berfungsi sesuai kebutuhan. Kegagalan ini mengakibatkan peningkatan biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan keamanan perbatasan.
3. Sistem Penggajian US Navy: ERP yang Gagal
US Navy memulai proyek Enterprise Resource Planning (ERP) untuk menggantikan sistem penggajian yang usang. IBM dipilih sebagai vendor utama untuk proyek ini.
Proyek ini menghadapi berbagai tantangan karena IBM gagal mengelola kompleksitas proyek dan memahami kebutuhan spesifik dari US Navy. Masalah koordinasi dan komunikasi antara tim vendor dan tim internal mengakibatkan berbagai kesalahan dan keterlambatan.
Proyek ini mengalami pembengkakan biaya hingga miliaran US dollar dan tertunda bertahun-tahun. Sistem yang dihasilkan tidak memenuhi semua kebutuhan US Navy, menyebabkan kegagalan dalam mencapai tujuan utama proyek dan kerugian besar bagi angkatan laut.
4. Digital Media Initiative BBC: Mimpi Buruk Digital
BBC meluncurkan Digital Media Initiative (DMI) pada tahun 2008 dengan tujuan menciptakan sistem manajemen konten digital yang efisien. Siemens dipilih sebagai vendor utama untuk mengembangkan solusi ini.
Siemens gagal mengembangkan solusi yang sesuai dengan kebutuhan BBC. Masalah manajemen proyek, kurangnya pemahaman persyaratan, dan kualitas solusi yang buruk menyebabkan berbagai kendala teknis dan operasional.
Proyek ini dihentikan pada tahun 2013 setelah menghabiskan £98 juta. BBC terpaksa kembali ke sistem lama, mengakui bahwa DMI adalah kegagalan besar yang menghabiskan sumber daya tanpa menghasilkan manfaat yang diharapkan.
5. Sistem Penggajian Queensland Health: Krisis di Australia
Queensland Health di Australia meluncurkan proyek untuk mengembangkan sistem penggajian baru dengan bantuan dari IBM pada tahun 2007.
IBM gagal memahami kompleksitas sistem penggajian yang ada dan tidak mengelola proyek dengan baik. Masalah komunikasi dan manajemen proyek menyebabkan berbagai kesalahan teknis yang mengganggu operasi penggajian.
Sistem yang dihasilkan tidak berfungsi dengan baik, menyebabkan kesalahan penggajian yang meluas dan signifikan. Proyek ini menghabiskan lebih dari $1,2 miliar dan menjadi salah satu kegagalan IT terbesar di sektor publik Australia, mempengaruhi ribuan karyawan yang tidak menerima gaji dengan benar.
6. Proyek ERP Hershey: Cokelat dan Kekacauan
Pada tahun 1999, Hershey, produsen cokelat ternama, memutuskan untuk mengimplementasikan sistem ERP baru dengan bantuan dari SAP dan Siebel Systems untuk mengintegrasikan operasional mereka.
Proyek ini menghadapi berbagai masalah termasuk jadwal yang terlalu ketat, masalah integrasi, dan kegagalan dalam pelatihan pengguna. Vendor gagal mengelola kompleksitas dan skala proyek dengan baik.
Peluncuran sistem baru ini bertepatan dengan musim Halloween yang merupakan puncak penjualan Hershey. Akibatnya, perusahaan tidak dapat memenuhi pesanan sebesar $100 juta tepat waktu, menyebabkan penurunan 19% dalam pendapatan kuartalan dan penurunan harga saham sebesar 8%.
7. Proyek Sistem IT pada Kmart: Gagalnya Modernisasi Ritel
Pada tahun 2000, Kmart memutuskan untuk menginvestasikan $1,4 miliar dalam proyek IT besar-besaran untuk memperbarui sistem mereka dengan bantuan dari IBM dan SAP.
Proyek ini mengalami berbagai masalah termasuk perubahan persyaratan yang konstan, kegagalan dalam manajemen proyek, dan kurangnya koordinasi antara Kmart dan vendor. IBM dan SAP gagal mengimplementasikan solusi yang sesuai dengan kebutuhan ritel Kmart.
Proyek ini tidak pernah berhasil mencapai tujuannya dan dianggap gagal. Akibatnya, Kmart harus menanggung biaya besar tanpa mendapatkan keuntungan dari sistem baru. Pada tahun 2002, Kmart mengajukan kebangkrutan, dan proyek ini menjadi salah satu faktor penyebabnya.
8. Proyek IT dari Target Canada: Gagalnya Ekspansi Internasional
Pada tahun 2011, Target memutuskan untuk melakukan ekspansi ke Kanada dengan membuka 124 toko dalam waktu singkat. Mereka bermitra dengan SAP untuk mengembangkan sistem IT yang mendukung operasi di Kanada.
Proyek ini mengalami berbagai masalah teknis dan manajemen, termasuk data inventaris yang tidak akurat, masalah integrasi sistem, dan kegagalan dalam pelatihan pengguna. SAP dan Target tidak mampu mengelola kompleksitas proyek dengan baik.
Sistem IT yang buruk menyebabkan rak-rak toko kosong dan pengalaman belanja yang buruk bagi pelanggan. Pada tahun 2015, Target memutuskan untuk menutup semua tokonya di Kanada, mengakibatkan kerugian sebesar $2 miliar dan pemutusan hubungan kerja bagi 17.600 karyawan.
9. Proyek IT dari Lidl: ERP yang Tidak Sesuai
Pada tahun 2011, Lidl, jaringan supermarket Jerman, memutuskan untuk mengimplementasikan sistem ERP dari SAP untuk meningkatkan efisiensi operasional mereka.
Proyek ini menghadapi berbagai masalah termasuk persyaratan yang berubah-ubah, ketidakcocokan antara proses bisnis Lidl dan sistem SAP, serta manajemen proyek yang buruk. SAP dan Lidl tidak berhasil mengatasi tantangan ini.
Setelah menghabiskan lebih dari €500 juta dan tujuh tahun bekerja, proyek ini akhirnya dihentikan pada tahun 2018. Lidl kembali ke sistem lama mereka, menyebabkan kerugian finansial yang signifikan dan gangguan operasional yang besar.
10. Proyek IT dari Denver International Airport: Sistem Bagasi yang Kacau
Pada awal 1990-an, Bandara Internasional Denver memutuskan untuk mengimplementasikan sistem penanganan bagasi otomatis yang revolusioner dengan bantuan dari BAE Systems.
Proyek ini menghadapi berbagai masalah teknis termasuk sensor yang tidak berfungsi, kontrol perangkat lunak yang gagal, dan keterlambatan dalam jadwal. BAE Systems gagal mengelola kompleksitas teknis dan operasional proyek ini.
Setelah menghabiskan lebih dari $500 juta, sistem ini akhirnya ditinggalkan dan bandara beralih ke sistem penanganan bagasi manual. Kegagalan ini menyebabkan penundaan pembukaan bandara selama 16 bulan dan kerugian finansial yang besar.
Kegagalan-kegagalan ini menunjukkan pentingnya memilih vendor yang tepat dan memastikan mereka memahami kebutuhan bisnis secara mendalam. Kolaborasi yang buruk dengan vendor dapat menyebabkan kerugian finansial yang besar, gangguan operasional, dan hilangnya kepercayaan dari pihak-pihak yang terlibat. Pelajaran dari kasus-kasus ini adalah untuk selalu melakukan due diligence yang ketat dan mengelola proyek dengan baik untuk meminimalkan risiko kegagalan.